Laporan wartawan sorotnews.co.id : Slamet.
PEKALONGAN, JATENG – Tradisi tedhak siten merupakan upacara saat anak turun ke tanah pertama kali. Dalam istilah Jawa biasa disebut mudhun tanah atau unduhan. Tedhak siten berasal dari kata “tedhak” berarti menapakkan kaki, sedangkan “siten” berarti tanah.
“Tedhak siten yaitu tradisi menapakkan kaki ke tanah pertama kalinya seorang anak. Upacara tedhak siten dilakukan saat anak usia 7 lapan kalender Jawa, atau 8 bulan kalender Masehi”, terang Muhammad Ali Warqan budayawan muda Yogyakarta, Kamis(2/5/23).
Lebih lanjut, Mas Pilar sapaan akrab Muhammad Ali Warqan menjelaskan bahwa tradisi tedhak siten selain melestarikan budaya juga menyimbolkan bimbingan orang tua kepada anaknya dalam meniti kehidupan. Upacara tedhak siten perlu menyiapkan perlengkapan atau uba rampe. Diantaranya yaitu, jadah 7 (tujuh) warna warni, tangga terbuat dari tebu, kurungan yang berisi barang/benda, alat tulis, mainan dalam berbagai bentuk, air untuk memandikan anak, tumpeng lengkap, ayam pangggang, dan nasi kuning.
“Rangkaian acara tedhak siten di mulai dari membersihkan kaki, berjalan melewati tujuh jadah warna warni, menaiki tangga dari tebu, masuk kurungan dan memilih barang, dan terakhir dimandikan”, tegas Mas Pilar.
Jaman milenial, sudah jarang pasangan suami istri melakukan tradisi tedhak siten. Namun pasangan profesional muda ini melakukan upacara tedhak siten.
Ya, Imam Prayogo (38) dan Mustikawati (33) melakukan tradisi tedhak siten pada putrinya bernama Rahma Fatiatul Jannah yang baru berusia 7 bulan hitungan kalender Jawa. Diketahui Imam Prayogo yang berprofesi sebagai dosen di PTN-BH Jawa Tengah sekaligus seorang konsultan dibidang akuntan, dan istrinya direktur keuangan di perusahaan swasta juga seorang akuntan. Pasangan suami istri profesional milenial, biasanya secara logika sudah tidak melakukan upacara tradisi seperti tedhak siten. Beda dengan pasangan suami istri profesional akuntan tersebut.
“Kami melakukan upacara tedhak siten, karena kami orang Jawa. Sebagai orang Jawa tidak mau hilang Jawa nya. Budaya arif dan penuh filosofi kenapa harus ditinggalkan, justru perlu dilestarikan”, tegas Imam Prayogo.
Senada dengan ini, para tetangga menyambut antusias untuk datang di acara tedhak siten. Bahkan mereka membawa anak-anaknya untuk mengikuti keseluruhan acara tersebut. Sembari membari menanti saat udhik-udhikan (membagi uang pada anak-anak).
“Adanya tedhak siten yang dilakukan oleh keluarga pak Imam Prayogo, warga menyambut baik karena masih mempertahankan tradisi Jawa tersebut”, komentar Tikki selaku tetangga.*