Laporan wartawan sorotnews.co.id : Yudi.
SURABAYA, JATIM – Bagi Rakyat Indonesia di setiap tahunnya Selalu mengadakan berbagai anaka ragam kegiatan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), selain upacara bendera, untuk mengenang perjuangan para pahlawan bangsa dalam membawa kemerdekaan, di Surabaya dan daerah-daerah lainnya selalu menggelar acara malam tirakatan.
Didalam kegiatan ini masyarakat berkumpul untuk merenung dan berdua sekaligus mensyukuri kemerdekaan ini sudah menjadi tradisi masyarakat.
Kali ini warga Balas Klumprik RT 04 / RW 02 Surabaya, Jawa Timur, biasanya warga akan berkumpul di depan halama RT 04 yang biasa dipanggil Cak No (Suwarno) dengan membawa berbagai makanan dan minuman, hingga tumpeng sebagai bentuk Syukur atas kemerdekaan yang sudah.
Cak No mengatakan, malam tirakatan 17 Agustus merupakan tradisi wajib bagi masyarakat Indonesia, khususnya Surabaya.
Acara tersebut dihadiri juga oleh RW 02 Salik, Salik juga menuturkan bahwa acara ini terselenggara berkat kerja keras dan gotong royong para Kelompok Karang Taruna (Kaltar).
Ketua Kaltar Saili, yang sempat di wawancarai wartawan sorotnews.co.id, menjelaskan, “hal ini sudah menjadi kewajiban kami sebagai generasi muda untuk meneruskan semangat pejuang para Pahlawan yang telah berkorban untuk Kemerdekaan Republik Indonesia,” terangnya.
Biasanya, tradisi tersebut diiringi lantunan doa dan refleksi atas perjuangan pahlawan serta harapan bangsa ke depannya.
“Tradisi ini gak boleh hilang apalagi untuk generasi zaman sekarang yang jaraknya jauh dari peritiwa kemerdekaan,” ujarnya kepada Radar Surabaya, pada Jumat (16/72024).
“Acara ini juga tidak luput para warga yang menjadi donatur, diantaranya ada Kak Ifa yang banyak membantu untuk kesuksesan acara tersebut seperti menghadirkan gamelan dan lainnya,” jelas Saili.
“Untuk momen kemerdekaan ini adalah sakral maka juga harus disertai doa dan renungan bagaimana masyarakat kita saat itu melakukan tirakat dalam melawan penjajah,” katanya.
Malam tirakatan saat ini tidak hanya diisi dengan doa dan makan bersama, namun juga ada kesenian.
“Kalau keseniannya seperti teater atau tarian tradisional itu tidak masalah. Asalkan jangan aneh-aneh yang merusak kesakrakalan peringatan 17 Agustus. Kalau perlu semacam dangdutan yang disertai mabuk atau lomba agustusan yang terkesan porno demi mengundang tawa, saya rasa kok nggak perlu,” imbuh Ifa.
“Yang harus diingat adalah penjajahan dulu berlangsung ratusan tahun. Sehingga malam tirakatan 17 agustus dilakukan secara khidmat tanpa merusak esensi perjuangan masyakat kita terdahulu,” tutup Cak No.*