Pemecatan Sepihak! Enam Perangkat Desa Garot Tuntut Hak dan Keadilan

Laporan wartawan sorotnews.co.id : Hendra. 

BIREUEN, ACEH – Sebanyak enam perangkat Desa Garot, Kecamatan Pandrah, Kabupaten Bireuen, diberhentikan secara sepihak oleh Kepala Desa Raiyani berdasarkan Surat Keputusan (SK) Nomor Tidak Terlampir/2007/Garot/Tahun 2024. SK tersebut, yang ditetapkan pada 4 Maret 2024, tidak mencantumkan alasan pemberhentian, sehingga memicu polemik di masyarakat.

Langkah pemecatan tersebut diduga melanggar Qanun Kabupaten Bireuen Nomor 6 Tahun 2018. Dalam aturan itu disebutkan bahwa pemberhentian perangkat desa hanya dapat dilakukan dalam kondisi tertentu, seperti usia mencapai 60 tahun, dinyatakan bersalah berdasarkan putusan hukum tetap, berhalangan tetap, tidak memenuhi syarat, atau melanggar larangan jabatan.

Adapun keenam perangkat yang diberhentikan adalah Bendahara Desa, Sekretaris Desa, Kepala Seksi Pemerintahan, dua Kepala Dusun, dan Ketua Delapan. Kepada Rakyat45, Kamis (24/1/2025), para perangkat desa tersebut mengaku tidak diberi pemberitahuan resmi terkait alasan pemecatan mereka. Bahkan, lembaga Tuha Peut, yang memiliki peran sebagai penasihat desa dan mediator sengketa, tidak dilibatkan dalam keputusan itu.

“Kami diperlakukan semena-mena. Tidak ada pemberitahuan resmi, apalagi penjelasan terkait kesalahan kami,” kata salah satu perangkat desa yang diberhentikan.

Mereka kini menuntut pengembalian jabatan serta pembayaran hak jerih payah selama Januari hingga Desember 2024, yang ditaksir mencapai puluhan juta rupiah.

Camat Pandrah, Saifuddin S.KM, melalui Kasi Pemerintahan, Saifudin, menyatakan bahwa tindakan Kepala Desa Garot tidak sesuai prosedur.

“Pemberhentian perangkat desa tidak boleh dilakukan sepihak. Ada mekanisme yang harus diikuti, termasuk pemberian Surat Peringatan (SP) bertahap. Kami di kecamatan juga tidak pernah mengeluarkan rekomendasi karena kasus ini melanggar aturan,” tegasnya.

Hingga berita ini diturunkan, Kepala Desa Garot, Raiyani, belum memberikan tanggapan terkait kasus ini. Persoalan ini menjadi sorotan publik dan dinilai mencoreng tata kelola pemerintahan desa yang seharusnya berjalan transparan dan sesuai hukum.**

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *