Laporan wartawan sorotnews.co.id : Suherman.
JAKARTA – Praktik perdagangan orang dengan modus pengiriman pekerja migran ilegal terus menjadi ancaman serius. Dalam triwulan pertama 2025, Kepolisian baru-baru ini telah menggagalkan 127 calon pekerja migran Indonesia (CPMI) non-prosedural yang hendak diberangkatkan secara ilegal, menyamar sebagai jamaah umrah. Pengungkapan ini menguak jaringan besar yang diduga melibatkan perusahaan ilegal dan sindikat perdagangan orang (TPPO).
Pengiriman pekerja migran ilegal ini yang berhasil digagalkan oleh aparat di Bandara Soekarno-Hatta, di mana ratusan CPMI rencananya akan dikirim ke Arab Saudi dan Athena, Yunani. Dalam operasi ini, tujuh orang pelaku telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka.
Namun, pengungkapan ini hanyalah puncak gunung es. Salah satu perusahaan yang disorot dalam kasus ini adalah Klinik Avida, yang diduga menjadi bagian dari jaringan besar perekrutan pekerja migran ilegal. Klinik ini disebut-sebut sebagai kedok untuk meloloskan CPMI ke luar negeri tanpa prosedur resmi.
Kasus yang menyeret Klinik Avida menjadi perhatian publik karena perusahaan ini diduga kuat bagian dari sindikat yang telah memberangkatkan pekerja migran ke Arab Saudi secara ilegal. Akibatnya, ada korban yang mengalami eksploitasi dan kesulitan kembali ke Indonesia.
Sebagai korban, Santia binti Surdana Aria, warga Cijaku, Lebak, Banten, dikabarkan telah diberangkatkan ke Timur Tengah pada 8 Juli 2021. Hingga lebih dari tiga tahun berlalu, ia belum dapat pulang ke Indonesia karena ada kendala di negara penempatan.
Di tengah komitmen pemberantasan TPPO, publik meminta Kapolri bertindak tegas terhadap para pelaku, termasuk dugaan keterlibatan seorang perempuan bernama Bu Anna, yang disebut-sebut memiliki jaringan kuat dalam sindikat ini.
“Kami telah sepakat untuk melakukan tindakan hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam TPPO. Tidak ada yang kebal hukum, termasuk jika ada oknum dalam sindikat ini,” tegas Kapolri usai bertemu dengan Menteri P2MI.
Namun, meski berbagai indikasi kuat telah mengarah ke Klinik Avida dan perusahaan di belakang atas Klinik ini, hingga kini belum ada tindakan hukum yang diambil terhadap perusahaan tersebut.
Dalam investigasi lebih lanjut, seorang narasumber yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan adanya dugaan keterlibatan oknum aparat dalam melindungi sindikat TPPO.
“Polisi itu tahu. Oknum, mulai dari Polsek, Polres, hingga Polda. Malah ada setoran buat uang koordinasi,” ungkapnya.
Menurut narasumber, selama uang koordinasi masih mengalir, Klinik Avida dan perusahaan sindikat dibelakangnya, tidak akan tersentuh hukum. Bahkan, ia menyebut bahwa Klinik Avida hanyalah kedok, dengan perusahaan lain yang lebih besar berada di balik operasi ilegal ini.
“Semua P3MI yang pernah melakukan medical check-up di sana tahu soal ini,” tambahnya.
Hingga berita ini diterbitkan, Klinik Avida dan para pelaku sindikat TPPO masih belum tersentuh hukum. Publik mendesak Kepolisian agar serius menindak praktik TPPO yang telah merugikan banyak pekerja migran Indonesia.
Komitmen pemberantasan TPPO harus dibuktikan dengan tindakan nyata, bukan sekadar retorika. Jika memang ada keterlibatan oknum aparat, ini harus diusut tuntas agar mafia perdagangan manusia tidak lagi leluasa beroperasi di negeri ini.*