Laporan wartawan sorotnews.co.id : Muktar.
JAKARTA – Sebanyak 152 Warga Negara Indonesia (WNI) yang melebihi izin tinggal (overstayer) di Arab Saudi dipulangkan ke Tanah Air pada 1 Mei 2025. Mereka dideportasi oleh otoritas imigrasi setempat setelah ditahan di Rumah Tahanan Detensi Imigrasi (Tarhil) Syumaisi, Makkah.
Para deportan tiba di Indonesia melalui penerbangan komersial dan mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Berdasarkan keterangan resmi Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI), mayoritas dari mereka adalah Pekerja Migran Indonesia (PMI) nonprosedural yang mengalami masalah hukum dan pelanggaran keimigrasian selama tinggal di Arab Saudi.
“Kami mengingatkan seluruh calon pekerja migran agar menggunakan jalur yang legal dan sesuai prosedur. Proses penempatan resmi sangat penting untuk melindungi hak-hak pekerja dan menghindari persoalan hukum di negara penempatan,” tulis Kemlu RI dalam pernyataan tertulis pada Senin (5/5).
Kemlu juga menegaskan bahwa pengiriman PMI secara ilegal atau nonprosedural berisiko tinggi bagi keselamatan dan masa depan pekerja itu sendiri, termasuk ancaman penahanan dan deportasi.
Meski pemerintah terus menggalakkan sosialisasi prosedur penempatan yang sah, praktik rekrutmen ilegal PMI tampaknya masih marak terjadi. Salah satu kasus terbaru melibatkan dugaan pengiriman PMI secara nonprosedural oleh sebuah perusahaan bernama PT Bahana, yang beralamat di Jalan Batu Wadas, Kelurahan Batu Ampar, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur.
Menurut informasi yang dihimpun oleh Sorot News, PT Bahana, masih terus merekrut dan memberangkatkan Pekerja Migran Indonesia (PMI) salah satunya, telah memberangkatkan seorang perempuan bernama Entin Kartini, asal Cianjur, Jawa Barat, ke Arab Saudi tanpa melalui prosedur resmi. Entin Kartini diberangkatkan untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga, padahal sektor domestik di Timur Tengah masih dalam status moratorium oleh pemerintah Indonesia.
Padahal, Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) tengah gencar melakukan inspeksi mendadak terhadap perusahaan-perusahaan yang diduga melanggar kebijakan penempatan PMI ke Timur Tengah.
Kasus Entin Kartini memperkuat dugaan bahwa sindikat pengiriman PMI nonprosedural masih aktif beroperasi, bahkan diduga mendapat dukungan dari oknum aparat penegak hukum. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas pengawasan di lapangan.
“Ini harus menjadi perhatian serius. Jangan sampai kita menunggu jatuhnya lebih banyak korban. Presiden RI harus turun tangan dan menindak tegas siapa pun yang terlibat, termasuk oknum yang membekingi sindikat ini,” tegas seorang sumber di Kementerian P2MI yang enggan disebutkan namanya.
Yusri Al-Bima, seorang aktivis pemerhati pekerja migran, turut mengomentari situasi tersebut. Ia menilai lemahnya pengawasan dari pihak Kementerian P2MI terlihat membiarkan celah bagi praktik pengiriman PMI secara ilegal.
“Selama KBSA belum melakukan penguncian sistem dan pendataan secara ketat, pengiriman PMI nonprosedural akan tetap berlangsung lancar,” ujar Yusri.
Pemerintah melalui Kementerian P2MI menyatakan tengah memperbaiki tata kelola penempatan dan perlindungan PMI, khususnya di sektor domestik, yang paling rentan terhadap praktik eksploitasi. Pemerintah juga mengimbau masyarakat untuk tidak tergiur dengan tawaran kerja di luar negeri melalui jalur tidak resmi, karena dapat berujung pada pelanggaran hukum dan penderitaan di negara tujuan.
Hingga saat ini, belum ada keterangan resmi dari PT Bahana terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan. Pihak Kementerian P2MI dan aparat penegak hukum diminta segera menyelidiki kasus ini demi melindungi hak-hak PMI dan menegakkan hukum secara adil dan transparan.**