Tujuh Wilayah Adat Suku Moi Tolak Proyek Strategis Nasional: “PSN Adalah Bencana Mematikan yang Terorganisir”

Laporan wartawan sorotnews.co.id : Asep Suebu. 

SORONG, PAPUA BARAT DAYA – Dalam momentum peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, perwakilan dari Tujuh Wilayah Adat Suku Moi di Kabupaten dan Kota Sorong menyatakan penolakan tegas terhadap rencana Proyek Strategis Nasional (PSN) di wilayah adat mereka. Masyarakat adat menilai proyek yang diklaim sebagai pembangunan tersebut justru menjadi ancaman sistematis terhadap kelestarian hutan, hak masyarakat adat, dan keberlangsungan hidup manusia Papua.

Mengangkat tema “PSN adalah Bencana Mematikan yang Terorganisir, Terstruktur, dan Sistematis”, masyarakat Moi menyuarakan penolakan terhadap proyek industri pangan terpadu berbasis kelapa sawit yang digagas PT Fajar Surya Persada. Proyek ini disebutkan akan mencakup lahan hampir 100.000 hektare dengan nilai investasi mencapai Rp 24 triliun.

Mereka menilai, rencana tersebut berpotensi mempercepat deforestasi, menghilangkan ruang hidup masyarakat adat, serta memperkuat dominasi korporasi besar dalam praktik eksploitasi sumber daya alam.

Papua diketahui memiliki hutan hujan tropis seluas 34,13 juta hektare, menjadi habitat bagi lebih dari 271 suku bangsa dan ribuan spesies flora-fauna endemik. Namun, di balik kekayaan alam ini, masyarakat adat justru hidup dalam kemiskinan, kekurangan gizi, serta mengalami pelanggaran hak asasi manusia dan pengungsian akibat konflik agraria yang dilegalkan oleh sejumlah kebijakan negara.

Data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menunjukkan, selama tahun 2024, wilayah adat yang dirampas di Papua mencapai 2,8 juta hektare, disertai dengan kekerasan dan intimidasi. Beberapa regulasi seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan UU Ibu Kota Negara (IKN) disebut memperparah pelemahan hak-hak masyarakat adat.

Di wilayah Kabupaten Sorong sendiri, telah beroperasi sedikitnya empat perusahaan kelapa sawit besar, yaitu: (1). PT Henrison Inti Persada (HIP) – 32.546 ha. (2). PT Inti Kebun Sejahtera (IKSJ) – 38.000 ha. (3). PT Inti Kebun Sawit (IKS) – 37.000 ha. (4). PT Sorong Global Lestari (SGL) – 16.305 ha.

Tiga dari empat perusahaan tersebut diketahui berada di bawah kendali Ciliandry Anky Abadi (CAA) Group, sebuah konglomerasi agribisnis nasional. Kehadiran mereka diduga menyebabkan deforestasi masif, pencemaran lingkungan, perampasan tanah tanpa persetujuan masyarakat adat, serta penggusuran situs budaya dan adat, bahkan disertai kekerasan aparat keamanan.

Masyarakat adat Moi mengungkapkan bahwa lahan adat mereka hanya dihargai Rp 6.000 per hektare, sebuah angka yang dianggap mencederai nilai dan martabat tanah leluhur mereka. Sungai Klasof yang sebelumnya menjadi sumber air dan makanan kini tercemar, dusun sagu digusur, dan situs keramat dihancurkan demi kepentingan ekspansi kebun sawit.

Pemberlakuan Otonomi Khusus (Otsus) Papua sejak tahun 2001 juga dinilai belum membawa perubahan signifikan bagi kesejahteraan masyarakat adat. Belum disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat menjadi simbol lemahnya komitmen negara dalam melindungi hak-hak dasar masyarakat adat Papua.

Dalam pernyataan sikap yang dirilis secara resmi pada Kamis (5/6/2025), masyarakat adat Moi bersama jaringan gerakan sipil menyampaikan enam tuntutan utama:

1. Pelaksanaan Otsus Papua harus benar-benar berpihak pada perlindungan hak asasi masyarakat adat.

2. Menghentikan seluruh PSN yang mengancam ruang hidup dan hak masyarakat adat Papua.

3. Menolak pemberian dukungan atau izin dari Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya terhadap perusahaan yang merusak lingkungan dan mengancam keberlanjutan masyarakat adat.

4. Menolak kehadiran PT Fajar Surya Persada dan proyek industri pangan terpadu di atas wilayah adat Moi.

5. Mendesak penetapan kebijakan perlindungan wilayah adat sebagai benteng terakhir hutan tropis Papua.

6. Menghormati hukum adat, budaya lokal, serta menghentikan pendekatan militeristik terhadap masyarakat adat.

“Negara tidak boleh terus-menerus menjadi alat kapitalisme dan imperialisme yang menindas masyarakat adat Papua,” tegas salah satu perwakilan masyarakat adat Moi.

“Kami tidak menolak pembangunan. Tapi kami menolak pembangunan yang membunuh kami,” lanjut katanya.

Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun ini menjadi momentum reflektif bagi masyarakat Papua dan seluruh pemangku kepentingan untuk meninjau ulang arah pembangunan nasional. Bagi masyarakat adat Moi, pembangunan sejati adalah yang berpihak pada manusia, menjaga budaya, dan melindungi alam, bukan semata pada angka investasi dan deretan izin eksploitasi.**

Pos terkait