Laporan wartawan sorotnews.co.id : Marselin SK.
KUPANG, NTT – PT Syarif Maju Karya (SMK) mendesak Pengadilan Negeri (PN) Maumere agar segera memerintahkan Balai Pelaksana Penyedia Perumahan dan Kawasan Permukiman (BP3KP) Nusa Tenggara II pada Direktorat Jenderal Kawasan Permukiman, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), untuk membayar kewajiban sebesar Rp1,1 miliar sesuai putusan Mahkamah Agung (MA) RI Nomor 2495 K/Pdt/2022 tanggal 8 Agustus 2022.
Putusan tersebut merupakan hasil sengketa hukum terkait proyek pembangunan Rumah Susun Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero dan Rumah Khusus pada Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu (SNVT) Tahun Anggaran 2018, di mana PT SMK bertindak sebagai kontraktor pelaksana.
Direktur PT SMK, Kundradus Terisno, dalam keterangannya kepada media pada Jumat (3/5/2025) dan Selasa (25/6/2025), menegaskan bahwa putusan hukum telah inkrah (berkekuatan hukum tetap), namun hingga kini pihak tergugat belum juga membayar kewajibannya.
“Sudah ada putusan MA sejak 8 Agustus 2022. Kita menang dan tergugat diwajibkan membayar sekitar Rp1,1 miliar. Tapi sampai sekarang belum dibayar. Kami minta bantuan PN Maumere agar memerintahkan eksekusinya,” ujar Kundradus.
Permohonan eksekusi telah diajukan secara resmi oleh Kuasa Hukum PT SMK, Suyari Timbo Tulung, S.H., M.H., pada 25 April 2025, kepada PN Maumere atas rangkaian putusan dari tingkat pertama hingga kasasi.
Namun hingga saat ini, pihak Balai Perumahan NT II selaku tergugat belum melaksanakan putusan tersebut.
Alasan Tergugat: Non-Eksekutabel dan Perubahan Nomenklatur
Dalam surat balasan kepada PN Maumere (Surat Nomor 03/KH/BP3KP-NT II/V/2025), pihak Balai menyatakan bahwa putusan tidak dapat dieksekusi karena dianggap non-executable. Mereka juga menyebutkan bahwa belum ada pejabat yang ditetapkan secara resmi untuk melaksanakan eksekusi karena adanya perubahan nomenklatur di tubuh Kementerian PUPR.
Kuasa Hukum PT SMK, Suyari Timbo Tulung, menyayangkan sikap tersebut. Ia menyatakan bahwa alasan perubahan nomenklatur tidak bisa dijadikan dasar untuk menghindari pelaksanaan putusan pengadilan.
“MA sudah final. Tidak ada alasan hukum lagi untuk menunda pelaksanaan kewajiban. Kalau semua pihak patuh hukum, seharusnya Dirjen Kawasan Permukiman melalui Balai NT II segera membayar,” ujar Timbo melalui pesan tertulis kepada media, Selasa (9/5/2025).
Proyek Rumah Susun Mahasiswa STFK Ledalero dan Rumah Khusus SNVT dimulai pada April 2018 dengan nilai kontrak awal Rp7 miliar (Kontrak Nomor: KU.03/SNVT.PP.NTT/231/IV/2018). Namun kemudian terdapat perubahan DIPA menjadi Rp9 miliar, yang menyebabkan keterlambatan pencairan uang muka dan pengadaan alat pancang.
Pekerjaan PT SMK terganggu akibat permasalahan teknis di lapangan, termasuk perintah penghentian pemancangan dari Konsultan Manajemen Konstruksi, serta keterlambatan soil test yang baru dilakukan pada pertengahan September 2018.
Meski PT SMK telah melakukan upaya percepatan dan penyesuaian metode kerja, pihak Balai NT II secara sepihak menghentikan kontrak tanpa prosedur yang sesuai.
“Mereka hentikan kami sepihak tanpa musyawarah, padahal progres pekerjaan sudah 24,06% dan nilai material on-site mencapai Rp644 juta,” jelas Kundradus.
Pihak SMK menilai pemutusan kontrak tidak sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 194/2014 dan PMK No. 432/2015, yang memberikan hak perpanjangan waktu 30 hari jika pekerjaan belum selesai hingga akhir tahun anggaran.
Berdasarkan perhitungan internal PT SMK, total nilai pekerjaan yang belum dibayar mencapai Rp1.000.039.577, belum termasuk pajak pertambahan nilai (PPN).
Berulang kali PT SMK telah menyurati Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Balai Penyedia Perumahan untuk menyelesaikan pembayaran pekerjaan sesuai progres dan material yang telah tersedia, namun tak pernah mendapat tanggapan.
Hingga saat ini, redaksi masih berupaya menghubungi pihak BP3KP Nusa Tenggara II dan Kepaniteraan PN Maumere untuk mendapatkan tanggapan resmi terkait perkembangan proses eksekusi putusan MA ini.**