Bagi Hasil Tebangan Sengon Tak Sesuai Ekspektasi, Puluhan Warga Penggarap Hutan di Pekalongan Kecewa

Laporan wartawan sorotnews.co.id : Toni. 

PEKALONGAN, JATENG – Harapan puluhan warga Desa Kedungkebo, Kecamatan Karangdadap, Kabupaten Pekalongan, untuk menikmati hasil jerih payah menanam sengon selama hampir satu dekade mendadak pupus. Sebanyak 64 warga penggarap hutan yang mengelola 9,9 hektare lahan Perhutani menerima bagi hasil tebangan sengon menilai uang bagi hasil yang diterima jauh di bawah perkiraan awal.

Banyak warga mengaku kecewa berat karena hasil penjualan kayu tak sebanding dengan waktu, modal, dan tenaga merawat sengon selama 8 hingga 10 tahun. Mereka merasa tak memiliki pilihan selain menerima nilai pembayaran yang sudah dihitung sepihak sesuai aturan bagi hasil.

Aktiyas (70), salah satu warga penerima bagi hasil, hanya bisa pasrah setelah menerima uang Rp 11.750.000 dari total 146 batang pohon sengon berusia delapan tahun. Padahal, menurutnya, harga seharusnya jauh lebih tinggi.

“Dulu perjanjiannya usia lima tahun ditebang dengan harga Rp 550 ribu per kubik. Tapi baru ditebang usia delapan tahun dan yang kami terima cuma dihitung Rp 320 ribu per kubik,” ujarnya dengan raut wajah memelas, Rabu (3/12/25).

Aktiyas menegaskan, bila sengon itu berada di lahan pribadi, ia bisa menjualnya hingga Rp 40 juta. Namun karena lahan merupakan milik Perhutani, penjualan harus mengikuti aturan pembagian, yakni sepertiga untuk Perhutani dan dua pertiga untuk pengolah lahan dan masih dibagi lagi untuk LMDH.

“Awalnya rencana uang tebangan sengon untuk rehab rumah. Tapi terimanya sedikit, ya nggak cukup. Cuma bisa pasrah,” keluhnya.

Keluhan serupa datang dari Marbu (70), petani dengan 135 batang sengon di lahan seperempat hektare. Berdasarkan kubikasi dan kesepakatan awal harga Rp 525–550 ribu per kubik, ia seharusnya menerima sekitar Rp 19,5 juta. Namun kenyataannya, ia hanya mendapat Rp 13 juta.

“Rugi, rugi berat. Harusnya dapat Rp 19 juta, saya cuma terima 13,” ujarnya dengan nada kecewa.

Ia mengaku telah menghabiskan sedikitnya Rp 6 juta hanya untuk penanaman, belum termasuk perawatan lebih dari satu dekade.

Marbu bahkan mengatakan ada pihak luar yang pernah menawar seluruh pohonnya seharga Rp 50 juta apabila berada di tanah pribadi.

“Harapan beli motor baru pupus sudah. Terima Rp 13 juta mana cukup buat beli motor,” tuturnya.

Menanggapi keluhan warga, Kepala Resor Pemangkuan Hutan (KRPH) Jolotigo, Rame, menjelaskan bahwa kesepakatan harga Rp 550 ribu per kubik merupakan gambaran harga rata-rata dari kayu kualitas super hingga yang kualitas rendah (reject). Ia menguraikan skema pembagiannya.

“Dari Rp 550 ribu itu, petani dapat 60 persen, desa 5 persen, LMDH 5 persen dan Perhutani 30 persen. Jadi petani menerima sekitar Rp 330 ribu per kubiknya,” jelasnya.

Rame menegaskan bahwa pembagian nilai dilakukan berdasarkan hasil kubikasi, bukan usia pohon, sehingga perbedaan pertumbuhan dan kerapatan pohon membuat nilai akhir berbeda-beda.

Ia juga mengingatkan bahwa sengon tidak bisa dijual secara mandiri karena adanya Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara warga melalui LMDH dan Perhutani.

“Warga memang tidak diperbolehkan menjual sendiri. Semua harus lewat mekanisme PKS,” tambahnya.

Meski pembagian sudah berlangsung, banyak warga masih mempertanyakan transparansi perhitungan dan pemotongan nilai hingga hanya menerima sekitar Rp 300 ribu per kubik, jauh dari kesepakatan awal yang disebutkan saat sosialisasi.**

Pos terkait